Pusara Darah Biru Kesultanan Aceh

Rawohnanggroe | Banda Aceh adalah salah satu kota di Indonesia yang menunjukan perkembangan yang pesat. Di sana-sini, diseluruh penjuru kota kian nampak geliat pembangunan. Bangunan-bangunan megah dengan arsitektur unik pun kian mempercantik Kota Madani ini.
Makam Sultan Aceh | Foto: Mapesa

Mengelilingi Kota Banda Aceh memang mudah menemukan objek wisata yang sudah populer dikalangan wisatawan, seperti Masjid Raya Baiturrahman, Museum Tsunami, Museum Aceh, PLTD Apung dll. Sebagai bekas ibukota kesultanan, tentu kota berjuluk Agra van Andalas memiliki peninggalan masa kejayaan silam.  Banyak orang kemudian bertanya-tanya di mana sisa masa kegemilangan Banda Aceh yang hampir berumur sembilan abad ini.

Lamanya garis waktu yang dilalui Banda Aceh sebagai ibukota kesultanan, pastilah sudah melahirkan banyak sultan yang bertahta. Namun, di manakah pemimpin Kesultanan Aceh itu dimakamkan? bagaimana kondisi pusaranya? dan seperti apa arsitektur bangunannya?

Rasa penasaran itu makin mencuat tatkala saya membaca lembaran sejarah. Sebuah catatan pernah menyebutkan bahwa Kesultanan Aceh pada abad pertengahan merupakan salah satu dari lima kesultanan terbesar di dunia. Bersanding dengan Turki Ottoman, Persia, Mughal dan Maroko.


Aceh juga pernah menaklukkan negeri-negeri lain. Mulai dari semenanjung Malaya seperti Kesultanan Perak dan Pahang, di Sumatra ada Pariaman, Deli, Aru dan Siak. Ini bukti bukti bahwa dulu Kesultanan Aceh Darussalam adalah satu negeri tangguh di kawasan Asia Tenggara. Keberhasilan Aceh tentu tak lepas dari sultannya yang pernah memerintah.

Sekarang memang agak sulit untuk menemukan makam para Sultan Aceh, karena objek ini kalah tenar dengan yang lainnya. Selain kurangnya perhatian dan informasi, lokasinya pun terpinggirkan oleh tata ruang kota Banda Aceh dan pemukiman penduduk.

Pada masa pendudukan Belanda, selain kompleks dalam (istana), makam-makam bangsawan Kesultanan Aceh kabarnya menjadi salah satu target penjarahan besar-besaran. Tujuannya untuk mencari harta karun yang mereka percaya banyak tersimpan di setiap makam. Alhasil, banyak makam yang kemudian digali dan dijarah.

Pernah suatu saat, ketika berkunjung ke situs kereta api Aceh, di jalan Mohammad Jam, saya menemukan sebuah penunjuk arah yang memberi informasi tentang kompleks makam para darah biru Kesultanan Aceh. Jalan menuju ke lokasi persis berada di samping pusat perbelanjaan Barata.

Menyusuri jalan ini memang agak sepi. Kompleknya persis berada di dalam perumahan militer TNI AD. Kira-kira 300 meter menyusuri jalan, persis di sebelah kanan akan langsung terlihat komplek makam tersebut.
Tidak banyak aktivitas di sini, kecuali beberapa motor yang berlalu lalang.
 
Makam Kandang XII, begitulah nama yang disematkan pada papan nama di lokasi tersebut. Lokasinya terletak di Desa Kampung Baru, Kecamatan Baiturrahman, Kota Banda Aceh. Letaknya agak tinggi dari daerah sekitarnya. Kondisinya lumayan bagus, karena sudah ada pagar pembatas dengan bagunan berasitektur Aceh yang menaungi makam-makam. 


Semua makam memiliki corak dan relif unik. Bentuknya megah dan bahkan salah satu makam terbuat dari perunggu yang apabila dipukul akan mengeluarkan suara denting. Tingginya rata-rata mencapai setinggi orang dewasa dengan panjang makam hampir tiga meter dengan lebar satu meter.

Para pengunjung yang datang bisa langsung masuk, karena pintu pagar Komplek Kandang XII (Baitul Rijal) selalu terbuka untuk wisatawan. Makam-makam di sini merupakan situs cagar budaya yang dilestarikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pelestarian Cagar Budaya Banda Aceh, Wilayah Kerja Provinsi Aceh dan Sumatra Utara.

Dalam komplek makam Bangsawan Kesultanan Aceh ini bersemayam sultan-sultan dari berbagai generasi. Jumlahnya ada 12 makam, enam sultan dan selebihnya keluarga sultan. Dari data yang tertera di papan informasi, sultan dan bangsawan yang dimakamkan di sini, yaitu:
1. Sultan Syamsul Syah, memerintah pada tahun 1497-1514 M
2. Sultan Ali Mughayat Syah, memerintah tahun1514-1530 M
3. Sultan Salahuddin Ibnu Ali Mughayat Sayah, Memerintah tahun 1530-1537 M
4. Sultan Ali Riayat Syah Alqahar, memerintah tahun 1537-1568 M
5. Sultan Husain Syah Ibnu Ali Riayat Syah Alqahar, memerintah tahun 1568-1575 M, dan
6. Malikul Adil, tahun 1641 – 1676 M, masa pemerintahan Sultanah Tadjul Alam Safiatuddin.

Melihat relief, corak dan ukiran pada nisan mencerminkan kemegahan seni arsitektur pada masanya. Aceh pernah memiliki pemahat-pemahat batu yang spektakuler dan berkemampuan tinggi. Ini membuktikan Kesultanan Aceh pernah mencapai kegemilangan dalam bidang seni budaya pada masa lalu, dan Banda Aceh merupakan pusat perkembangan seni arsitektur islam di Asia Tenggara, khususnya Pulau Sumatra.

Saat mengelilingi Makam Kandang XII, meski hanya makam seakan saya sedang berhadapan dengan seorang sultan yang sedang berdiri bijaksana. Sebuah pengalaman menarik bisa melihat betapa megahnya arsitektur dan seni pahat Aceh pada masa lalu. Kita patut bersyukur, Aceh pernah jaya dan saya yakin nanti Aceh akan meugah ban sigom donya.[]


Bacaan lain: Batee Kapai Ramanyang

Popular posts from this blog

Gunong Trans, Kehijauan Sejauh Mata Memandang

Keindahan Pantai Batee Puteh di Meukek

Di Aceh, Menikah dan Khitanan "Harus" Berinai

Mengintip Tiga Pantai Bakongan Timur