Bandar Manggeng yang Dilupakan

Rawohnanggroe |  Manggeng tanah kelahiranku, tempat untuk pertama kali menghirup udara. Banyak hal yang telah lahir di sini, mulai dari dangderia, Tgk. Peukan, AA Manggeng sampai kesenian rapa’i geleng. Kami menjulukinya dengan ”The Home of Geleng”.
Kuala Krueng Manggeng | Foto: Khairil

Berabad-abad lalu wilayah kenegerian kecil di Aceh ini sudah menjadi bagian dari kedaulatan Tanoh Rencong. Beberapa catatan sejarah pernah menyebut Manggeng berada di bawah naungan Sultan Aceh. Namun, tidak ada data pasti kapan persis daerah ini resmi masuk ke dalam Federasi Aceh Darussalam.

John Anderson (1840) dalam karyanya "Acheen" yang diterbitkan di London, menyebut Manggeng dengan nama Manghin. Catatan lain, yaitu peta Muhammad Ghauts Saiful 'Alam Syah (1850), seorang pembuat peta dan penjelajah Kesultanan Aceh pada pertengahan abad ke-19 Masehi. Ia menyebutnya dengan بندر مانكين (Bandar Mankin) yang dapat diidentifikasi dengan mudah sebagai Manggeng saat ini.

Kesultanan Aceh dahulu memang sering menulis suatu tempat dengan penambahan kata bandar. Bandar erat kaitannya dengan pemukiman yang terkonsentrasi di dekat laut. Berdagang dan jual beli komoditas di pelabuhan jadi aktifitas yang sering dilakukan.

Penduduk Manggeng diyakini banyak berasal dari Aceh Besar dan Minangkabau. Mengenai kapan, tentu perlu adanya bukti dan penelitian lebih lanjut. Namun bisa jadi sebelum kedatangan mereka pun sudah ada penduduk yang lebih awal mendiami kawasan ini.

Seperti tulisan sebelumnya, penduduk Manggeng pada awalnya banyak mendiami pesisir, pinggiran sungai dan ladang-ladang. Menurut literatur, pusat pemerintahan kenegerian pun pernah beberapa kali dipindahkan.

Pemukiman pertama diyakini berada di pesisir disekitar Kuala Manggeng. Namun sejak dibuatnya jalan permanen, terutama Lintas Barat-Selatan yang menghubungkan Banda Aceh-Tapaktuan, masyarakat mulai bermukim di sepanjang jalan. Kini pusat aktifitas berada di Kedai Manggeng, sekitar empat kilometer dari pusat pemukiman pertama yang ditinggalkan.

Dari dulu hingga kini, ada cerita yang terus berkembang di masyarakat tentang adanya pemukiman awal di pesisir. Bukti lain bisa ditelisik lewat toponim beberapa tempat, seperti Madat dan Lamkuta di sekitar Kuala Manggeng.

Peninggalan abad silam berupa benteng dari tanah bisa dilihat di rawa-rawa Padang Meurandeh. Masyarakat sering menyebutnya dengan Madat Manggeng. Kebenaran akan adanya peninggalan tersebut belum bisa membuktikan apapun, karena sampai saat ini tidak ada penelitian yang dilakukan. Bahkan banyak masyarakat belum tahu tentang keberadaannya. Begitu pun saya.

Beberapa tahun lalu, pernah ada kabar tentang sebuah meriam tua yang diangkat dari rawa sekitar Kuala Krueng Manggeng. Benda bernilai sejarah itu sempat beberapa saat dipajang di halaman sebuah rumah, tepat menghadap jalan menuju Pantai Ujong Manggeng. Belakangan, meriam itu telah raib entah ke mana. 

Jauh sebelum penemuan itu, beberapa meriam juga pernah ditemukan. Tempat penemuannya pun sama, yaitu di sekitar dua muara yang saling bertemu. Beberapa meriam saat ini menjadi pajangan di rumah tua Raja Manggeng di Kedai dan beberapa rumah tokoh masyarakat.

Ada lagi cerita lain, bahwa di sekitar Madat ada sebuah pemakaman tua. Selain makam, sejumlah benda pecah-belah dan koin juga pernah ditemukan. Saya sudah berusaha bertanya kepada sejumlah warga tentang keberadaan benda tersebut, namun hasilnya nol.

Beberapa waktu lalu saya juga sempat menemukan hal menarik. Menjelang siang pada satu hari di November 2015. Saya bersama Arzan bertujuan mencari cue (sejenis siput sungai berbuntut runcing) ke Kuala Manggeng. Kami berjalan menyusuri beberapa ratus meter dari jalan Gampong Padang Meurandeh, hingga sampai di daratan antara kuala dan rawa.

Belum turun ke rawa, mata terfokus pada sejumlah batu-batu yang berserak. Bentuknya lonjong dan saling berpasangan. Ukurannya hampir seukuran buah kelapa, namun lebih panjang. Dalam benak saya bertanya-tanya, kenapa bisa batu-batu itu ada di sini?

Melihat bentuknya, sekilas saja langsung terbesit dalam pikiran, "sepertinya ini adalah nisan-nisan pendahulu yang tak dikenal dan tak dikenang". Setelah bertanya, Arzan membenarkan hal itu. Ini memang makam yang sudah lama tak terurus. Katanya, dulu pernah ada yang berkunjung dan melakukan kenduri jeurat, tapi sekarang tidak lagi.

Dulu nisan di sini banyak, sekarang sudah jatuh ke rawa,” tambahnya.

Adanya peninggalan makam tentu erat kaitan dengan populasi manusia. Apalagi dalam kebudayaan Islam, ketika manusia meninggal maka akan dikuburkan, biasanya dibuat penanda berupa batu sebagai nisan. Ini jadi indikasi bahwa saat itu Islam sudah menjadi agama yang dianut oleh penduduk setempat.

Berbeda dengan wilayah lain seperti Aceh Besar yang sering ditemukan batu nisan berukir atau beraksara Arab. Di Kuala Manggeng, nisan-nisan hanya berupa batu biasa yang tak berukir. Di Barat Selatan Aceh budaya seperti ini memang jarang ditemukan, kecuali di Daya dan Trumon.

Bentuknya makam yang biasa saja menandakan orang yang dikebumikan adalah rakyat jelata. Mereka dipastikan pernah hidup dan mendiami dataran Manggeng pada suatu masa, kemudian generasi selanjutnya berpindah. Tentu ada sebab mengapa mereka meninggalkan tempat ini. Entah itu bencana alam atau gangguan dari luar. Masyarakat sepertinya enggan untuk kembali ke sana, padahal letaknya cukup strategis.
Mencari keberadaan madat | Sumber: Youtube

Temuan ini bisa jadi sebuah pembenaran terhadap beberapa tulisan dan cerita di masyarakat yang menyatakan, dulu pusat aktifitas Kenegerian Manggeng berada di pesisir (muara antara Alue Rambot-Padang Meurandeh). Selain itu diperkuat dengan adanya sebuah Madat yang masih bertahan hingga kini. 

Berbeda dengan Susoh dan Labuhan Haji, tapak pemukiman pertama dua wilayah tersebut masih tetap ditinggali. Susoh berada di sekitar Kuala Katung (Kedai Susoh) dan Labuhan Haji di Teluk Labuhan Haji, sedangkan Manggeng sudah benar-benar dilupakan. 

Dunia memang terus berubah, silih berganti suatu negeri diisi oleh generasi-generasi. Begitu pun tanah lahirku. Jika tidak ada bukti yang kuat, tentu tak ada kebenaran mutlak. Tapi, tak ada salahnya membuat hipotesa (dugaan sementara) bedasarkan cerita dan peristiwa.[]

Sebelumnya: Sejarah Kenegerian Manggeng

Popular posts from this blog

Mengintip Tiga Pantai Bakongan Timur

Gunong Trans, Kehijauan Sejauh Mata Memandang

Keindahan Pantai Batee Puteh di Meukek

Di Aceh, Menikah dan Khitanan "Harus" Berinai